Resource

Top Figure



Mbah Kusnan, Pengrajin Gamelan
Memulai dengan Hobi dan Cinta

Kusnan, atau lebih akrab dipanggil Mbah Kusnan, seorang lelaki pecinta gemelan yang telah berumur. Rautnya sendu, keramahan jelas terpancar dari setiap ejaan sapaannya. Tatapan mata tajam, namun tak sedikitpun mengisyaratkan kesombongan. Di sela bicaranya, tawa renyah menghias, seakan tak habis kebanggaan dengan masa tuanya.

Sebagai seorang seniman yang masih mempertahankan kesenian nusantara, yakni gamelan asli dari Jawa Timur, sepantasnyalah Kusnan bangga serta merasa hidupnya tak sia-sia. Berangkat dari hobi dan kecintaan terhadap gamelan, membuat Kusnan tak merasa jenuh jika setiap hari harus bergumul dengan seperangkat alat musik Jawa tersebut.

Hobi
Gamelan yang telah menyatu dengan dirinya itu ditekuni mulai tahun 1963.  Pada waktu itu Kusna masih duduk di bangku SMP, saking cintanya Kusnan sangat tekun dan getol bekerja dan mempelajari alat kesenian itu.  Upaya tekun dan rajinnya berbuah manis, sehingga pada tahun 1980, dengan semua keahlian dan hobi yang dimiliki, Kusnan mampu mandiri. Yakni, mendirikan rumah di wilayah Paju Ponorogo. Alat gamelan buatan Kusnan diberi nama  Ponorwirogo, yang berarti dari Ponorogo.

Untuk saat ini, satu set gamelan pelog-slendro dapat diselesaikan dalam jangka waktu 20 hari. Mbah Kusnan, dibantu 5 orang pekerjanya. “Jika kita mngerjakan dengan rasa cinta semua akan mudah,” tandasnya. Kusnan selalu memberi motivasi pada pekerjanya, bahwa sesuatu yang dilakukan ini semata-mata karena rasa peduli terhadap kesenian lokal.

Satu set gamelan terdiri dari banyak jenis, seperti diantaranya Gong Barong, Gong Penerus, Gong Kenong, Gong Kempul, Gong Saron Peking, Slentem, Gender Gambang, Kendang dan masih banyak lagi. Menurut Kusnan, jenis gamelan yang paling sulit dilakukan adalah jenis Gong Gede. Lantaran, ukuran yang besar saja, sehingga harus membutuhkan waktu 3 hari lamanya.

Menurut Kusnan seorang pembuat gamelan tidak perlu keahlian khusus. Yang lebih dibutuhkan sebenarnya adalah cinta dan kesadaran akan kesenian lokal. “Yang butuh keahlian itu hanya waktu penyetelan suara saja. Kalau pembuatannya tidak perlu,” Tuturnya.

Penjualan Kusnan tidak terbatas dalam kota saja, namun juga luar kota, bahkan seluruh Indonesia. Hal ini juga dapat dibanggakan sebagai prestasi nomor satu. Kusnan membedakan gamelan buatannya menjadi 2, yakni jenis besi dan jenis kuningan. Jenis besi per satu set dijual dengan harga Rp. 40 juta. Dan yang terbuat dari kuningan Rp. 150 juta.

“Kalau yang kuningan anti karat jelas usianya pun berbeda., jadi lebih mahal. Tapi untuk suara sama saja, penyetelannya juga sama.” Ulasnya. Dalam 1 tahun minimal Kusnan dapat menjual 6 set gamelan, itu bisa dikatakan paling sepi. Dalam hal produksi permodalan, ia tidak perlu khawatir karena telah dibantu oleh pihak perbankkan, jadi untuk pengadaan bahan selama ini Kusnan tak perlu cemas.

Prestasi
Pada tahun 1991, Kusnan pernah mendapat penghargaan dari SMITHSONIAN INSTITUTION OFFICE FOLKLIFE PROGRAMS Amerika. Dalam acara yang bertajuk, Festifal Kesenian Daerah. Ia diundang ke Amerika selama 1 bulan. Penghargaan itu diberikan atas partisipasinya dalam menjaga dan melestarikan alat musik kesenian daerah.

Kusnan bercerita, dia merasa bangga selama satu bulan di sana, karena perhatian terhadap kesenian daerah sangat tinggi. “Rasanya berbeda dengan di Indonesia,” katanya. Bahkan pihak Smithsonian Institution berpesan langsung pada Kusnan, bahwa kesenian gamelan harus dijaga dan dilestarikan. Jika dari indonesia tidak melakukan hal itu, maka gamelan akan dibawa dan dilestarikan di Amerika.

Di penghujung perbincangan, Kusnan berpesan kepada generasi muda untuk tidak melupakan seni budaya sendiri, khususnya gemalan. Menurutnya, memupuk rasa cinta untuk kesenian lokal sagat penting. “Jangan kalah dengan Amerika, karena di sana gamelan juga salah satu pelajaran sekolah,” pintanya penuh harapan. (Muhammad Budi)







H. Abdul Hadi
Kakeknya Guru yang Tetap Masih Setia

Figur pendidik nampak menghiasi wajah teduh Drs. Abdul Hadi. Di usianya yang ke 71 tahun, senyum ramah dan sapa akrab membuat rautnya berwibawa. Menyimak segala kisah perjalanannya membuat Seputar Ponorogo berdecak kagum. Sosok lelaki matang, yang mencerminkan kepribadian piawai nan santun ini dengan sopan mempersilahkan Seputar Ponorogo mencermati kisahnya. Dalam bincang ini banyak cerita tentang kisah perjalanannya sebagai pendidik. Mengenai kisah dalamnya, berikut petikan wawancaranya dengan wartawan Seputar Ponorogo, Ebit Handoko.

Dalam sejarah panjang pendidikan anda sendiri apa Pak?
Pertama lulus SD pada tahun 1956. Berlanjut ke Pendidikan Guru Agama Pertama (PGAP) selama 4 tahun, melanjutkan lagi 2 tahun  pada Pendidikan Guru Agama Atas (PGAA). Kemudian meneruskan pada Institut Agama Islam Muhammadiyah Surakarta, dan mengantongi Sarjana Muda pada tahun 1970. Setelah itu, saya melanjutkan lagi studi Doktoral 1 dan Doktoral 2. Hingga akhirnya meraih gelar sarjana.

Karier Anda sebagai guru ini dimulai sejak kapan?
1 Mei 1962, dan langsung diangkat menjadi PNS. Tapi dulu saya mulai mengajar sebagai guru SD

Dalam tahun-tahun itu bapak mengajar dimana?
SD Carat 2, SD Plosojenar, SD Semanding I dan II. Pada tahun 1965 pindah mengajar di MI atau  dulu namanya Madrasah Wajib Belajar (MWB), naungan Departemen Agama (Depag). Setelah mendapatkan gelar BA tugas guru baru dipindahkan ke tingkat SLTP. Pertama kali mengajar di Mualimin Mualimat Muhammadiyah yang merupakan sekolah paling maju di kompleks Muhammadiyah. Waktu itu untuk saya mendapat tugas mengajar Bahasa Inggris.

Prestasi apa yang bapak capai dalam karier sebagai pendidik ini?
Saya pernah mendapatkan nominasi Guru Teladan Departemen Agama lingkup Kabupaten Ponorogo, itu sekitar tahun 1975-an. Entah seperti apa pemilihannya ya, sama panitia saya dipilih jadi Guru Teladan, padahal banyak juga kawan guru yang dari Diknas. Selain dari keguruan saya juga pernah mendapatkan nominasi ke-3 Keluarga Sakinah Kabupaten Ponorogo yang diadakan Departemen Agama.

Lalu bagaimana kisahnya hingga sampai menjadi dosen Pak?
Pada tahun itu, 1976, saya mulai mengajar di UNMUH, saya terlibat langsung atas perencanaan FISIP UNMUH ketika itu. Dan semenjak SPG ditutup pada tahun 1986 saya langsung mengajar di STKIP.

Selain mengajar aktifitas lain apa, Pak?
Saya hobi membaca, jadi kalau liburan saya habiskan waktu untuk membaca. Selain itu saya dulu juga aktif mengajar Pramuka,  juga mengadakan kajian Ilmu Tafsir Hadits rutinan sebulan sekali.

Kalau agenda dengan keluarga?
Saya sering jalan-jalan saja sama keluarga. Ada 6 anak saya dan delapan cucu.

Sekarang kan banyak murid yang berani pada guru serta maunya sendiri. Bagaimana menurut Bapak?
Iya. Dulu dan sekarang itu sama saja ya banyak anak sekolah yang bandel itu ya wajar. Kalau dikerasi ya dijewer itu saja. Jangan sampai yang menyakiti, kalau sampai memukul sampai babak belur itu namanya tidak menegur tapi menyakiti. Lebih lagi yang SMA, muridnya cantik-cantik sudah besar diajak selingkuh kan ya semakin tidak karuan. Yang pasti pemantaban ilmu agama ya, untuk pelajaran moral dan akhlak yang baik.

Nah... bagaimana harapan Bapak terhadap pendidikan di Ponorogo?
Harus mencapai pendidikan yang seimbang dalam semua aspek. Baik aspek motorik, psikomotorik maupun aspek kognitif, dan juga harus ada penekanan dalam nilai religi. Bagaimana caranya itu tergantung pada masing-masing sekolah.

Selama ini resep yang Bapak lakukan apa untuk karier juga sampai sekarang masih sehat?
Sejak SMP sampai sekarang seingat saya, saya belum pernah absen untuk sholat Tahajud. Itu pesan bapak saya. Tidak ada resep apa-apa hanya itu saja. Saya juga suka main bola, pencak silat tapi dulu waktu masih muda.

Kapan Bapak pensiun?
Saya sudah pensiun sejak tahun 2000, setelah 48 tahun mengajar. Tapi hingga saat ini saya masih diminta mengajar di STKIP. Ya prinsip saya guru itu adalah panggilan jiwa. (*)